Rabu, 28 April 2010

Wajah Dunia Pendidikan

Carut Marut Wajah Dunia Pendidikan Kita



Peningkatan kesejahteraan guru yang hanya janji kosong, pungutan tak perlu kepada orangtua dengan dalih peningkatan fasilitas, harga buku pelajaran yang mahal, ramai-ramai memalsukan ijazah untuk pemenuhan syarat sebagai calon wakil rakyat, dan trend mengobral gelar di berbagai lembaga pendidikan adalah bukti nyata bahwa cita-cita luhur pendidikan semakin menyimpang. Komersialisasi membuat kita tak percaya akan fungsi utama pendidikan sebagai medium antara masyarakat dalam menghadapi era globalisasi. Komersialisasi yang seolah menunjukkan kemajuan sesungguhnya berujung pada kompleksitas sosial dengan meningkatnya jumlah pengangguran.
Menurut data Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta di Kompas, 29 Mei 2004 pada tahun 2002 jumlah penganggur yang terserap lapangan kerja 155.700 orang atau hanya 25,6 persen. Sedangkan jumlah pengangguran terbuka sebanyak 8,1 juta dengan 567.000 orang di antaranya berpendidikan tinggi. Dari data ini terbukti pendidikan kita telah gagal dengan tak berperilaku sebagai pranata sosial. Di tengah krisis nilai yang melanda kehidupan, kita telah mengalami perubahan yang cenderung bertumpu pada kepentingan pragmatisme liberal. Homo economicus sebagai paham humanisme yang mempengaruhi pemegang kebijakan sistem pendidikan bukan pada kompetensi. Kriteria sukses sebuah sekolah sudah sangat jauh berbeda akibat pergeseran nilai-nilai mengenai sukses sebuah sekolah.
Untuk itulah, Eko Prasetyo, seorang pengamat sosial, penulis pelbagai buku, seperti HAM Kejahatan Negara dan Imperialisme Modal dan Membela Agama Tuhan, mencoba memaparkan ketidaktimpangan tersebut ke dalam buku bertajuk Orang Miskin Dilarang Sekolah! Walau judulnya sangat terkesan provokatif buku ini tak lantas lebur ke dalam gagasan abstrak semata mengenai cita-cita pendidikan. Justru dalam buku setebal 255 halaman ini Eko malah lebih menukik dengan bertumpu pada riset dan investigasi yang mendalam.
Aspek penuturannya yang lugas mengakrabkan pembaca seperti mengajak ngobrol sehingga tak lepas juga dari keceriaan dan kesantaian bernada satiris, walau sebenarnya buku ini dimaksudkannya sebagai catatan kaki dari carut marutnya dunia pendidikan kita.
Tengoklah di halaman 79 (Sekolah di Bawah Kuasa Modal). Ia menemukan seorang ‘marketing’ sekolah yang bekerja selama 18 jam persis tenaga salesman dalam ‘memasok’ siswanya. Kegiatannya adalah mengidentifikasi nama-nama SMA di berbagai kabupaten untuk diiming-imingi agar mau sekolah di tempatnya. Bujukan itu dilakukan dengan dua langkah, yaitu mengirimkan surat kemudian didatangi sekolahnya. Dengan menggunakan mobil milik sekolah yang kadang milik rektor atau kepala sekolahnya, dikelilinginya sekolah tertentu untuk diberitahu tentang ‘masa depan’. Lucunya isi surat itu tak sekedar “surat penawaran’ saja, melainkan surat pemberitahuan bahwa seorang siswa di SMA yang dikunjunginya sudah diterima. Dengan memanfaatkan taktik ini secara agresif, siswa lalu diberitahu telah mendapatkan beasiswa separuh sedangkan separuhnya harus dibayar setelah lulus SMA, mirip yang dilakukan penyebar pemberitahuan kepada seseorang ‘telah memenangkan hadiah’, sisanya sebagai pelunasan ‘hak milik hadiah’ bisa dibayar belakangan. Cabang-cabang ini bekerja mirip perusahaan multinasional saja dengan melakukan paket pendidikan bak seorang pengusaha real estate menawarkan produk kepada calon konsumennya.
Selain dilengkapi catatan kaki, dalam setiap babnya Eko tak lantas larut pada peristiwa besar. Ia juga tak melupakan fakta-fakta kecil yang menjadi kewajiban setiap orangtua yang hendak menyekolahkan anaknya. Semisal pengalaman penulis sendiri tatkala mendaftarkan anaknya ke sebuah sekolah. Semula ia diterima dengan santun, tapi begitu menginjak soal biaya sebesar dua juta rupiah sebagai uang pangkal dan iuran bulanan sebesar tiga ratus lima puluh ribu untuk biaya snack dan sesekali wisata di tempat hiburan ia lantas merutuk betapa mahalnya bayaran si kecil agar bisa bernyanyi, berdoa dan mengetahui ejaan. (h.2).
Desain dan illustasi menarik bergaya komikal karya Ahmad Ismail, penghasil komik strip Sukribo di Kompas Minggu dalam buku ini pun berhasil menampilkan kekuatan kritik yang mampu berdiri sendiri. Misalnya illustrasi di halaman 200 di bawah uraian pengalaman Douwes Dekker yang mendirikan sekolah sebagai lembaga dengan kesadaran kritis (bab Sekolah Itu Mustinya Murah!) ada gambar seorang ibu yang mengeluhkan mahalnya biaya sekolah. Kepada guru ia bertanya apa kelebihan yang ditawarkan sekolah ini. Jawabnya, “Putra ibu bisa belajar soal sejarah Douwes Dekker atau Tan Malaka waktu mereka berjuang membuka sekolah murah!”
Pelbagai bahasan yang disusun Eko sangat praktis karena kebanyakan langsung menukik pada studi kasus. Contoh kecilnya perhatian pemerintah pada sekolah kejuruan yang menjadi pemasok tenaga ke sektor industri. (h.173, Sekolah Ke Mana Lulusannya?) Sepintas lalu hal demikian terlihat menguntungkan, padahal jika dicermati berdampak buruk. Harga-harga produk akan naik karena beban investasi pendidikan yang tak kecil dari industriawan. ‘Menyetorkan’ siswa ke lingkungan industri kelak akan menumpulkan siswa pada sebuah proses yang membuat dirinya tak lebih hanyalah mesin kecil dari industri raksasa.
Media juga tak lepas dari perhatian Eko sebagai salah satu ‘penunjang’ terpuruknya citra pendidikan. Dalam uraiannya ia menulis, “Sensasi dan publisitas yang menjadi andalan media telah membuat isu dunia pendidikan menjadi soal yang kerdil. Bisa dipahami bahwa media juga bekerja mengikuti alur industri sehingga berita pendidikan tak tergolong berita yang menarik,” (Sekolah Di Bawah Kuasa Modal, h.97).
Hal demikian senada dengan yang pernah diungkapkan Umberto Eco dalam Travels in Hypereality. Eco mengungkapkan media massa bersifat genealogis karena di dalamnya setiap penemuan membangkitkan reaksi berangkai ke arah penemuan berikutnya yang menghadirkan bahasa yang cenderung seragam. Akibatnya sensasi dan publisitas yang menempati posisi favorit di media (karena telah mengikuti alur industri) entah disengaja atau tidak telah menyempitkan pendidikan ke dalam posisi yang tak menarik.
Setelah membaca buku ini terbetik pertanyaan tanda-tanda apakah yang mampu kita ciptakan lagi jika pendidikan semakin berujung pada komersialisasi? Inikah pertanyaan yang harus dicermati dan perlu direnungkan. Terdapat jelas tanda-tanda bahwa sebuah tindakan yang dengan hormat kita menyebutnya sebagai ‘pikiran’ sudah tak lagi menjadi ukuran kehormatan. Meminjam istilah Ashadi Siregar, hal demikian lebih terlihat pada ‘realitas psikologis’ yang bertumpu pada ekonomi ketimbang ‘realitas sosiologis’. Komersialisasi yang berujung pada kompleksitas mirip yang terjadi di masa jajahan Hindia Belanda dalam ‘Politik Etis’ di mana pendidikan tak dimaksudkan sebagai perhatian lebih baik kepada penduduk pribumi melainkan hanya untuk penduduk Hindia Belanda yang bekerja pada Kerajaan Belanda.
Para pemegang kebijaksanaan yang terbukti tengah terkooptasi sikap-sikap memenangkan diri sendiri semata, seperti dikemukakan Yudi Latif, kandidat doktor Australian National University dalam kolomnya di KoranTEMPO makin membuktikan bahwa kepintaran kini sedang dihinakan oleh sikap-sikap ‘kebangsawanan baru’ berasaskan kroni dan kemewahan.
Source : http://www.resistbook.or.id/index.php?page=resensi&id=62&lang=id

Minggu, 18 April 2010

Pendidikan Alternatif ?



Pendidikan untuk anak "nakal", memang bukan penjara. Keluarga sebagai satuan unit terkecil untuk remaja, seharusnya bisa memberikan ruang yang cukup longgar, agar "kenakalan" itu tidak harus dikategorikan sebagai kriminalitas. Sudah fitrah remaja untuk mencari sesuatu yang baru, dan menemukan identitasnya. SUdah selayaknya pula pendidikan memberi ruang, bukannya malah mempersempitnya.

Presiden, baru-baru ini memberi grasi pada narapidana anak, di Lapas Anak Tangerang. Semoga ini bisa menjadi langkah awal untuk perbaikan sistem pendidikan anak/remaja kita, agar tidak perlu lagi ada Lapas khusus Anak. Kami berharap padamu, Ibu Menteri.

Tangerang (ANTARA News) - Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menneg PP-PA) Linda Amalia Sari Gumelar menangis saat pemberian grasi bagi tiga orang narapidana anak di Lapas Anak Pria Tangerang.

Linda menangis saat Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar memberikan Surat Keputusan Presiden tentang Grasi Terhadap Narapidana Anak di Lapas Anak Pria Tangerang, Selasa.

Ketiga orang narapidana anak yang mendapatkan grasi adalah dua orang anak laki-laki bernama Andika dan Aditya, serta satu orang anak perempuan bernama Sheila.

Suasana haru terasa saat Menteri Hukum dan HAM memberikan surat keputusan kepada tiga orang anak tersebut.

Bahkan, Sheila menangis sesaat setelah namanya disebut sebagai narapidana anak yang mendapatkan grasi presiden.

Melihat hal tersebut, Linda Amalia Sari mendekati Sheila dan merangkulnya seraya menangis haru.

Linda mengatakan pihaknya sangat bersyukur dengan kebijakan grasi yang diberikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Kebijakan ini sangat tepat dan kami sangat menyambut baik," katanya.

Menurutnya, pendidikan yang paling baik adalah bukan di rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan melainkan di lingkungan keluarga.(W004/J006)

Kamis, 15 April 2010

Materi Biologi

Bagi kelas XIPA materi selama pembelajaran biologi dapa diunduh di bawah ini..selamat mencoba

silahkan klik download

Senin, 12 April 2010

Improvement your education

Sudah barang tentu dikala membicarakan kualitas, selalu mendapatkan prioritas pertama. Hal ini wajar, mengingat segala bentuk sumber daya manusia (human resources) bertolak dari pendidikan yang diterimanya. Maka, wajar pula kalau orang-orang yang duduk di lembaga tinggi atau lembaga yang 'terhormat' tidak lepas dari peran pendidikan yang diperolehnya. Hampir tidak pernah kita jumpai seorang kepala Dinas yang hanya memiliki 'titel' SMP atau SMA. Kemampuan konseptual, analisis, dan kreatifitas tidak akan mampu ditumbuhkembangkan jika hanya 'menyenyam' pendidikan biasa saja.

"Jika menginginkan sesuatu yang berbeda, maka ubahlah haluan untuk melakukan hal-hal yang tidak disukai kebanyak orang"

Minggu, 04 April 2010

Maraknya dekandensi/kemunduran kualitas sekolah, kenapa?

Sekolah merupakan institusi yang dianggap jantung pendidikan. Betapa tidak, segala bentuk aktivitas, kegiatan, perilaku dan sepak terjang manusia detentukan pula oleh tingkat pendidikannya. Seorang lulusan dari SD tentu berbeda dengan lulusan SMP, SMA atau PT. Sumbangan pendidikan bagi bangsapun tidak tanggung-tanggung yang berarti roda suatu negara dikendalikan dengan tingkat pengetahuan seseorang terhadap apa yang dikerjakannya. Contoh yang paling nyata adalah negara AS, yang tidak begitu kaya dengan sumber daya alamnya namun dari segi SDM begitu jauh melampaui negara-negara lainnya, china yang memiliki infra struktur canggih tidak terlepas dari peran sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi bagus terhadap bidang-bidanya. Nah, lalu dengan argumen apa kita akan mengatakan bahwa pendidikan tidak merupakan komponen crusial???

Pendidikan yang 'baik' terutama di institusi pendidikan -seperti sekolah-, akan memiliki kualitas dan integritas apabila secara konseptual memiliki faktor pendukung 'oportunity' yang baik pula. Seperangkat sistem secara integral dan holistik saling berkesinambungan dan saling bekerjasama 'cooperation' guna mewujudkan cita-cita yang diharapkan. Rasanya tidak mungkin sekolah yang sudah memiliki konsep yang matang tidak mampu mencetak generasi masa depan yang mapan dan kuat terhadap arus globalisasi.

Pentingnya seperangkat konsep tersebut diindikasi dengan banyaknya sub-problem yang ada disekolah-sekolah yang tidak tertangani. Contohnya, walau pada bidang intelegensi anak, sekolah sudah memiliki target pencapaian dan ukuran serta strategi pencapaian sehingga melahirkan anak-anak yang 'pintar'. Namun, apa gunanya ketika kecerdasan tersebut justru akan berdampak buruk padanya. Sering kita jumpai, seorang anak yang cerdas namun etika terhadap guru serta orang tua yang begitu jauh, pandai namun justru berpotensi merugikan negara seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Untuk itu, diperlukan suatu penambahan seperangkat guna mengakomodasi dan mengorganisir diluar sektor intelegensi anak.

Auran tersebut adalah, seperangkat norma dan etika yang memang ditangani oleh orang yang berkompeten. Dihandle oleh orang yang memiliki pengalaman dan kemampuan dibidang tersebut. Dengan adanya peragkat ini, disamping sekolah dapat mewujudkan tingkat kecerdasan yang berimbang juga secara moralitas dapat menciptakan gereasi bangsa yang jujur, amanah, dan bertanggungjawab.

Dengan kata lain, sekolah-sekolah mestinya memiliki seperangkat konsep seperti konsep kesiswaa, kurikulum, sarpras, dan tidak kalah pentingnya dari ketiga komponen diatas adalah keagamaan. Karena dengan ini, etika, sopan santun dan moralitas dapat dikedalikan.

Disamping keempat komponen diatas, tidak akan lengkap jika dalam sekolah tidak memiliki Bagian Litbang dimana komponen ini mememiliki peran dalam menelaah, menidentifikasi, memproses, meng-output-kan dalam bentuk analisa tentang kondisi sekolah secara kemprehensif, terukur dan terarah untuk kemudian dicarikan alternatif pemecagan guna mengembangkan sekolah lebih maju. Tanpa hal ini, sekolah harus EKSTRA kerja keras guna mewujudkan mimpinya.

"barangkali diantara kita masih belum begitu mengilhami komponen pendidikan dijadikan indikasi terhadap keberhasilan, maka sudah barang tentu pendidikan hanya menghasilkan 'sewajarnya'"