Senin, 03 Mei 2010

Tantangan Baru Dunia Pendidikan

Heterogenitas Peserta Didik Kuncinya

Merupakan sebuah fenomena yang wajar, manakala dalam dunia pendidikan –sekolah – merupakan bagian yang memegang peranan penting dalam pendidikan anak. Banyaknya label sekolah, seperti sekolah unggulan, sekolah standar nasional, RSBI maupun SBI tidak lepas dari kenyataan bahwa heterogenitas peserta didik menjadi suatu hal yang diperhitungkan. Sebut saja sekolah SBI, yaitu sekolah yang menyiapkan peserta didiknya untuk figth dan bersaing, berkompetisi di masyarakat nantinya. Jika ditelisik, maka akan didapat realita bahwa input -dalam hal ini- peserta didik yang ada di SBI didapat dari proses penjaringan yang begitu ketat. Tidak hanya faktor kecerdasan (intelegcy question) yang dipertimbangkan, namun faktor lain seperti, kemampuan serta prestasi dalam bidang tertentu menjadi masukan apakah peserta didik layak atau tidak layak masuk sekolah tersebut. Kesimpulannya, bahwa sekolah-sekolah yang ingin memiliki visi kedepan, mampu bersaing dengan sekolah lokal, nasional bahkan internasional akan mengupayakan input yang sekolah terima telah sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Terkait dengan hal tersebut, disamping kecerdasan dan segudang prestasi yang dimiliki peserta didik, ada juga titik keterbalikan dimana terdapat pula peserta didik yang hanya memiliki IQ pas-pasan, dan bahkan lebih rendah dari angka normal. Tidak hanya itu, terdapat pula yang memiliki keterbelakangan mental, emosi, maupun psikologis, tidak jarang pula yang menderita autis. Kenyataan ini juga yang menjadikan tingkat heterogenitas peserta didik menjadi kompleks. Sekolah yang mempunyai label-label tersebut diatas tentu akan menolak kehadiran siswa dengan tingkat IQ, emosional, emosi, dan psikologis yang jauh dibawah anak-anak normal lainnya. Pertanyaannya, lalu kemanakah anak-anak ini akan ’mengadukan nasipnya’? paling tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk ’mengenyam pendidikan’ formal sesuai amanat Undang-undang no 1 pasal 30 UUD 1945, yang jelas-jelas mengharuskan semua peserta didik berhak mendapat pendidikan yang layak. Kata ’HAK’ dalam UUD tersebut dimaksudkan kepada pemerintah, yang berarti HAK yang dimiliki rakyat merupakan KEWAJIBAN bagi pemerintah untuk merealisasikannya.
Pendidikan kedepan harus lebih peka akan kondisi masyarakat dimana heterogenitas peserta didik menjadi suatu faktor yang patut dipertimbangkan dan disikapi secara benar dan tepat. Kini, tantangan baru didepan mata yaitu pendidikan yang dapat mengakomodir heterogenitas tersebur, dimana anak yang memiliki IQ rendah, keterbelakangan mental, psikologis bahkan autis dapat mendapatkan perlakuan yang sama, dan pendidikan yang sama pula. Tantangan ini dijawab dengan gencarya ’pendidikan inklusi’ yang kabarnya dapat mengatasi permasalahan tersebut diatas, walaupun pemerintah sendiri belum memiliki alat ukur/ parameternya. Namun, hal ini patut disikapi secara positif, paling tidak pemerintah sudah berupaya guna UUD dapat terealisasikan. Pendidikan inklusi, merupakan bentuk pendidikan yang berupaya menerima heterogenitas peserta didik dimana peserta didik mendapatkan kesempatan untuk belajar, mendapatkan ilmu secara layak sesuai dengan Kurikulum Stantar Satuan Pendidikan (KTSP). Proses pembelajarannya juga tidak begitu berbeda dengan peserta didik lainnya pada umumnya, hanya penanganan anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) seperti, autis, keterbelakangan mental serta psikologis diperhatikan secara serius. Namun demikian, dalam tingkat ketuntasan belajar anak-anak ABK ini dibedakan mengingat materi yang disampaikan tidak serta merta langsung dipahami siswa. Jika, peserta didik pada umumnya anak-anak dapat menyelesaikan 1 bab dalam dua kali pertemuan, maka untuk anak-anak ABK diperlukan lebih dari 2 kali pertemuan itu artinya, hasil belajar ataupun Raport yang diterima juga berbeda. Bagi siswa pada umumnya raport ditentukan oleh ketuntasan materi yang disampaikan, namun bagi ABK ditentukan ratio dan tingkat perkembangan pengetahuan yang diperolehnya dan tentu ini merupakan PR berat bagi dunia pendidikan untuk menentukan formula yang tepat. Pasalnya, mau tidak mau pendidikan seperti ini akan dihadapi tidak hanya 1 atau 2 institusi saja, namun barangkali setiap sekolah memiliki peserta didik yang tergolong kedalam ABK (anak berkebutuhan khusus). Inilah tantangan baru dalam pendidikan, yang menuntut energi yang luar biasa, membutuhkan konsep yang begitu cermat dan tepat, serta personal yang berkomitmen tinggi untuk mengajarkan pendidikan kepada mereka (Wahyono, S.Pd).